Pelacur dan Hidung Belang


“Eh kamu kenal si Anu enggak? Itu tuh yang kerjaannya nungguin cowok-cowok di pinggir jalan,” Kata si A kepada si B. “Oh itu, dia pelacur ya? Ih…, dasar perempuan enggak tahu malu, enggak punya moral, makan uang haram, apa udah enggak laku ya? Jijik banget deh,” Jawab si B.
Kita mungkin sering mendengar percakapan di atas. Mungkin di angkot, di halte, atau saat berkumpul di rumah sambil nonton gosip terhangat. Saat percakapan itu berlangsung, biasanya apa yang ada dalam benak mereka yang bercakap? Coba saya tebak. Dari kalimat-kalimat yang dikeluarkan sudah menunjukkan bagaimana mereka berpikir dan merasa. Mereka marah, benci, jijik, dan semacamnya. Semua rasa itu di alamatkan ke perempuan yang mereka sebut pelacur, tanpa mau tahu apa konteks yang mengikutinya.
Hari-hari ini, media memang diramaikan dengan maraknya prostitusi online. Ini cara terbaru –sesuai perkembangan zaman-dalam dunia prostitusi. Beberapa pelakunya sudah tertangkap. Umumnya, polisi mengamankan pelacurnya. Tadi pagi, saya sempat nonton berita ditangkapnya tiga orang pelacur yang kedapatan menjajakan diri di depan salah satu Apartemen di Jakarta Timur. Tapi entah mengapa sang lelaki yang janji bertemu dengan mereka, atau yang biasa nongkrong di tempat itu tidak ikut ditangkap. Sampai di tingkat ini, perempuan masih menjadi pihak yang paling dipojokkan.
Pelacur dan Hidung Belang
Apa sih pelacur itu? Mengapa pelacur selalu diidentikkan dengan perempuan? Pelacuran atau prostitusi adalah penjualan jasa seksual, seperti seks oral atau hubungan seks, untuk uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komersial (PSK).
Dari pengertian di atas, tak disebutkan kata perempuan. Jadi, pelacur itu adalah orang (bisa laki-laki perempuan, kelompok LGBT) yang menjual atau menikmati seks dengan bebas, di mana sebagai kompensasinya. Artinya, kita harus sepakat bahwa kata ‘pelacur’ tidak hanya diemban oleh perempuan saja. Tetapi kedua kelompok yang disebutkan di atas.
Di zaman Yunani, dikenal juga pelacur laki-laki. Mereka disebut gigolo. Pelacuran di era Yunani adalah sesutau yang terbuka. Prostitusi di Yunani Kuno sama sekali bukanlah hal yang dianggap buruk maupun rahasia; kota-kota tidak melarang rumah bordil, namun hanya meregulasinya. Rumah bordil untuk budak anak laki-laki ada secara terbuka, tidak hanya di “distrik lampu merah” dari Piraeus, Kerameikon, atau Lycabettus, tapi di seluruh kota. Yang paling terkenal diantara pelacur muda mungkin adalah Phaedo dari Elis
Karena kita sudah sepakat, ini hanya masalah nama/istilah, maka bagi laki-laki yang suka menjual dan membeli seks bebas saya sebut Hidung Belang. Ini bukan sembarang nama. Tetapi untuk memadankan dengan kata ‘PELACUR’, sehingga memudahkan orang untuk mengingat bahwa dalam soal seks bebas komersil, seperti yang sering kita saksikan di media, adalah perbuatan yang dilakukan oleh minimal dua orang (berpasangan). Sehingga jika anda ingin menghukum, hukumlah mereka berdua.
Mengapa perempuan yang paling muncul secara otomatis ke permukaan saat mendengar kata pelacur? Bukan gigolo/hidung belang, atau minimal yang ada di pikiran kita adalah dua makhluk (laki-laki dan perempuan), misalnya?
Ini karena masyarakat kita sudah terlalu lama mengidentikkan masalah seks bebas dengan perempuan. Perempuan dianggap kantong seks. Sejauh ini, masih banyak orang yang berpikir perempuanlah yang selalu menjanjakan seks, menggoda laki-laki. Perempuan dianggap makhluk yang cantik sehingga implikasinya adalah cantiknya ‘dijual’ ke laki-laki yang diidentikkan ‘pembeli’ kecantikan.
Tidakkah kita sadari semua ini dibentuk oleh sesuatu di luar kita? Bisa oleh sejarah, media, atau pemilik modal (penjajah iklan kecantikan, fashion, lifestyle). Pertama, sejarah. Jika Anda membaca sejarah zaman jahiliah di Timur dan sejarah Yunani Kuno, bisa dibilang seks bebas dianggap hal yang biasa. Setiap orang bebas berganti pasangan tanpa harus saling mengikat janji (pernikahan). Karena saat itu dianggap wajar dan memang tidak ada norma yang melarang, maka tak ada hal yang perlu dipersoalkan.
Pertanyaannya, hari ini masihkah kita di dalam konteks budaya itu? Tidak adakah aturan–hukum agama, hukum legal, norma masyarakat–saat ini yang mengatur kehidupan kita dalam bermasyarakat? Hanya orang yang berpura-pura tuli dan buta yang tidak mau tahu semua itu.
Kedua, pemilik modal. Mereka adalah tuan-tuan besar yang kaya uang, tapi jelas tidak kaya dalam hal lain. Dengan lihai mereka ‘menjebak’ setiap orang, khususnya perempuan, agar mempersepsi dirinya memakai produk mereka (dari rambut hingga ujung kaki) akan membuat perempuan tampil cantik. Setelah cantik, mereka akan lebih percaya diri untuk tampil di depan umum, termasuk ‘menjual’ kecantikannya pada orang-orang yang juga terjebak dalam kata ‘cantik’ ini.
Kekuasaan para pemilik modal semakin didukung oleh derasnya arus media, khususnya televisi. Setiap hari, setiap detik, iklan kecantikan (diidentikkan untuk perempuan) dan kecakepan (diidentikkan untuk laki-laki) bertebaran. Setiap itu juga orang yang menontonnya menginternalisasi konsepsi cantik dan cakep itu.
Yang cantik dan cakep inilah yang biasanya-tentu tidak semua- memilih menjadi pelacur dan pelacar. Sebab, menjadi pelacur dan pelacar tentu harus punya modal. Tidak sembarangan. Mereka juga berkelas. Coba perhatikan, jika mereka permpuan, mereka biasanya berambut panjang, badan tinggi semampai, berkulit cerah, aroma parfum yang membuat bersin, lalu dilengkapi dengan make up mahal dan pakaian mini. Yang begini biasanya dari kelas menengah ke atas. Laki-laki juga tak mau kalah. Mereka juga berwajah dan berfisik oke, rambut dan pakaian trendi, dilengkapi gadjet terbaru.
Hmm…, sebatas itukah bentuk dan arti cantik dan cakep?
Kenikmatan Hidung Belang dan Pelacur
“Hallo…, iya benar ini dengan C. Anda berani bayar berapa?,” Tanya si C dari balik telepon. “Sepuluh juta dua jam ya, gimana?,” suara si D dari telepon seberang. “Oke, deal! Ketemu di hotel Z jam 8 malam,” tutup si C.
Begitu biasanya pelacur dan Hidung belang bertransaksi. Dari awal mereka terlibat, sejak berniat hingga proses pelaksanaa. Dari isi percakapan di atas, menggambarkan suasana hati mereka yang sedang sadar, bahkan menikmati.
Yah, praktek prostitusi tampaknya memang telah menjadi aktifitas yang menyenangkan dan dinikmati bagi para pelakunya. Meski masing-masing punya alasan tersendiri (misalnya faktor ekonomi), tetapi dari pengakuan mantan gigolo, tak sedikit juga yang menjadikan prostitusi sebagai lifestyle. Banyak dari mereka yang datang dari keluarga berada (wawancara di Jak TV, Kamis, 21/02/13)
Tak heran jika angka prostitusi semakin meningkat. Nilai transaksi dari bisnis haram ini terbilang besar. Sepanjang 2011, berdasarkan perhitungan Biro Riset Infobank (birl), nilai transaksi pelacuran per bulan sekitar Rp 5,5 triliun. Angka itu berdasarkan asumsi jumlah pekerja seks komersial (PSK) yang dikeluarkan beberapa lembaga seperti United Nations Development Programme (UNDP), Dinas Sosial, dan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), bahwa jumlah PSK di Indonesia sekitar 193.000-272.000. Angka ini tak berlebihan. (infobanknews.com, 23/8/2012). Ratu mucikari dari Jawa Timur konon bisa meraup penghasilan sampai Rp 25 juta/hari. Meningkatnya jumlah PSK berarti menunjukkan meningkatnya jumlah pria yang gemar berzina. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, diperkirakan ada 6,7 juta laki-laki yang membeli seks pada 2012. Jumlah itu meningkat dibandingkan dengan tahun 2009 yang hanya 3,2 juta (kompas.com, 3/12/2012)
Melihat data di atas, tidak berlebihan kalau harus bilang, WOW…, sambil lari-lari keliling Monas! Sebegitu nikmatnyakah? Tapi baiklah, itu soal orang masing-masing. Setiap orang bertanggungjawab atas dirinya masing-masing, bukan?
Soalnya adalah, dampak kesehatan dan sosial dari perbuatan pelacur dan hidung belang bagi lingkungannya. Mulai dari istri dan suami masing-masing (yang sudah dan akan berkeluarga), anak, keluarga besar dan masyarakat umum. Menurut data Kemenkes, diperkirakan ada 1,9 juta perempuan menikah dengan laki-laki pembeli seks yang terinfeksi HIV. Para istri rawan tertular. Penularan bisa berlanjut kepada anak yang dilahirkan. Hingga Juni 2012 tercatat ada 3.368 kasus AIDS pada ibu rumah tangga dan 775 kasus pada balita (kompas.com, 3/12/2012).
Ini memang negara demokrasi, setiap orang bebas berekspresi. Tapi tidakkah terlintas di benak mereka akan makna hidup yang sesungguhnya? Bahwa setiap orang berbeda dalam memaknai hidup, iya. Tetapi berbagi suka duka hanya pada sang kekasih hati, hidup bahagia dengan keluarga yang kita cintai, disenangi dan dihargai oleh masyarakat, serta menjaga nilai ke-Tuhanan di dalam diri setiap kita, adalah lebih nikmat?