Apakah Homoseksual Itu?



Oleh Andrew Comiskey
Tingkah laku homoseks adalah usaha untuk memenuhi kebutuhan normal dalam mendapatkan kasih sayang, penerimaan dan identitas, melalui keintiman seksual dengan orang yang berjenis kelamin sama. Walaupun faktor-faktor yang menentukan perkembangan orientasi seksual merupakan hal yang kompleks dan terselubung, pengalaman kami menunjukkan bahwa salah satu akar utama dari homoseksualitas adalah hancurnya ikatan hubungan pada masa kecil seseorang. Hubungan yang terputus ini mengganggu kemampuan perkembangan dirinya untuk dengan sehat dapat berhubungan dengan orang lain sepanjang hidupnya.


Rasa aman seorang anak bergantung pada tiga hubungan; hubungan dengan ibunya, hubungan dengan ayahnya, dan hubungan antara kedua orang tuanya. Segala sesuatu yang mengganggu hubungan ini dapat menimbulkan perasaan tidak aman pada anak, yang pada akhirnya menghilangkan perasaan dibutuhkan dan didukung yang sebenarnya sangat vital bagi perkembangan identitas sebagai laki-laki atau perempuan.


Bila anak tidak mendapatkan atau bahkan tidak punya hubungan emosional dengan ayah atau ibunya, anak itu akan mengalami perasaan tidak aman – ia merindukan kedekatan dan perlindungan yang tidak didapatkannya dari orang tuanya. Atau akan lebih buruk lagi bila ia pernah mengalami pelecehan seksual. Ia akan semakin tidak mampu untuk membangun ikatan dengan orang lain.


Seorang anak bisa saja memisahkan diri dari orang tuanya atau orang dewasa lain demi menghindarkan dirinya dari penderitaan atau kekecewaan. Keadaan ini mungkin akan membuat ia takut akan keintiman, atau mengisolasikan diri dari orang lain, atau iri hati akan hal-hal yang tak dimilikinya; dan ini akan semakin menambah perasaan tidak berharga dan tertolak yang sebelumnya sudah tersimpan di dalam dirinya.


Semua situasi ini menimbulkan kebutuhan yang sangat besar akan dukungan (afirmasi) dan kasih sayang. Biasanya ketertarikan dengan seks sejenis mulai terjadi pada usia sepuluh tahun; hal ini karena emosi, bukan karena keinginan seks dan tidak terjadi secara sukarela juga. Ketika telah dewasa secara seksual, kebutuhan ini semakin menggebu dan erotis; keintiman seksual menjadi sarana utama untuk mendapatkan perasaan dicintai dan didukung.


Akibatnya, perbuatan seks memberikan rasa semu bahwa dia benar-benar diterima dan aman. Semua yang mendatangkan kasih sayang diterima, orang yang memberikan kasih sayang dijadikan idola, perasaan yang sakit ditutupi dengan kesenangan, dan konsep diri sementara dibangkitkan – menjadi kelegaan sesaat dari  kebingungan atas identitas diri.



Mendapatkan Kelengkapan
Jadi, keadaan homoseksual merupakan sebuah akibat dari begitu banyaknya luka, baik yang nyata atau pun hanya menurut persepsinya saja, yang dialami anak karena adanya hubungan yang hancur.  Tingkah laku homoseks adalah tindakan yang muncul           karena “anak yang sakit hati” ini ingin memenuhi kebutuhan kasihnya. Mungkin orang itu tidak menyadari bahwa hubungan seksual tidak akan dapat memenuhi kebutuhan akan kelengkapan dan keakraban antar sesama, yang merupakan kebutuhan yang paling mendalam pada jiwa manusia.


Hasil dari usaha untuk memenuhi kebutuhan dengan cara hubungan homoseksual adalah kesepian; orang itu akan semakin terpisah dan hancur dalam kesakitan. Akibat lainnya adalah kebingungan emosi, menyalahkan Tuhan karena perasaan terluka dan telah “menciptakan dirinya sebagai homoseksual”. Semua ini menghalangi kemampuan orang yang mengalaminya untuk dapat mempercayai Sang Pencipta dan merasakan keakraban yang telah disediakan olehNya untuk memberikan kenyamanan dan perlindungan atas kebutuhan terdalam yang  belum terpenuhi.



Apakah “mereka” memang lahir begitu?
Kitab Suci mengajarkan bahwa Tuhan menginginkan laki-laki dan perempuan mengalami hubungan yang utuh – yang menghindarkan dari kesepian – melalui kesatuan dengan pasangan yang berlainan jenis dan merupakan penolong yang sejati dan pasangan seumur hidup.


“Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya…laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka…TUHAN Allah berfirman: ‘Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.’” (Kejadian 1:27, 2:18)


Homoseksualitas adalah hubungan yang salah, seperti dinyatakan dalam Kitab Suci,  bertentangan dengan tujuan kreatif Tuhan atas seksualitas manusia. Dengan demikian kita bisa pastikan bahwa homoseksualitas bukan hasil dari penciptaan yang dilakukan oleh Tuhan.


Benarkah terbentuk sebelum dilahirkan? Sangat banyak penelitian telah dilakukan untuk melihat potensi genetis maupun peran hormon sebagai penyebab homoseksualitas. Tidak satu pun yang terbukti.  Penelitian masih berlanjut, dan hampir semua ahli menunjukkan bahwa berbagai hal yang mempengaruhi itu adalah budaya, asal muasal keluarga, faktor biologis, dan reaksi seseorang terhadap pengaruh-pengaruh  yang ada.


Kami di Pelayanan Desert Stream (di Amerika Serikat) percaya bahwa faktor-faktor biologis memang mempengaruhi pembentukan kepribadian seseorang. Kepribadian kita kemudian menentukan sebagian dari bagaimana dan mengapa kita menanggapi pengaruh yang ada di sekitar kita. Pada beberapa kepribadian, ditambah faktor-faktor lain yang ada, mungkin memang ada kecenderungan untuk sedikit lebih mudah berkembang ke arah homoseksual.



Adalah harapan untuk disembuhkan?
Homoseksualitas nyata sekali merupakan sebuah kondisi yang berlipat ganda. Dunia yang rusak menimbulkan luka, ketakutan, kebingungan identitas dan keterasingan.  Orang-orang bereaksi dengan mengambil pilihan yang berdosa sebagai usaha untuk pulih dari kehancuran dan untuk mendapatkan penghiburan di tengah deraan rasa sakit dan tekanan kebutuhan. Sayang tujuannya tetap tidak tercapai; yang semula menjanjikan, ternyata berakhir pada kenyataan yang sangat mengerikan.


Yesus Kristus adalah sebuah pilihan jalan keluar. Yesus menyatakan permasalahannya – yaitu manusia terbatas pada dirinya sendiri – dan Yesus menawarkan sebuah jalan di mana kita bisa mendapatkan pemenuhan di dalam Tuhan dan umatNya. Dengan melepaskan kita dari belenggu masa lalu, Yesus membebaskan kita untuk hidup sebagai suatu ciptaan baru, dan Roh Suci yang menjalankan semua perubahan yang terjadi dalam hidup kita itu.


Rahmat Yesus Kristus adalah cukup bagi kita, kekuatanNya sangat sesuai dengan kelemahan kita. Ia menyediakan sebuah dasar yang kuat bagi identitas kita yang baru – menjadi sebuah pusat yang benar-benar nyata dan dapat dirasakan. Semakin kita dekat denganNya, kita semakin dimampukan untuk memancarkan gambaranNya atas kemanusiaan kita dan terus-menerus bertumbuh.


Tujuan dari pertumbuhan kita adalah kemerdekaan untuk mengasihi dengan benar: Suatu hubungan yang intim namun bukan erotis (non-seksual) terhadap manusia lain yang berjenis kelamin sejenis dengan kita, dan agar mampu berhadapan dengan lawan jenis kelamin kita tanpa rasa ketakutan atau ketidaksukaan.  Sebagaimana kami di Pelayanan Desert Stream yakin bahwa Yesus memberikan kasihNya kepada kita, kami merasakan juga kekuatanNya mengalir dalam hidup kita dan dalam hidup mereka yang merindukan kebebasan dari homoseksualitas. 
 
 

Pandangan Alkitabiah Tentang Homoseksualitas








Pergumulan dengan homoseksualitas dapat menusuk jauh ke dalam jiwa dan lubuk hati orang Kristen.  Hal ini bisa mempengaruhi pandangan orang tentang dirinya dan Tuhan – yang nantinya menentukan seluruh jalan hidupnya.  Oleh karena dampaknya yang  jangkauannya panjang ini, maka kita perlu mengetahui pandangan Alkitab mengenai homoseksualitas.  Pandangan yang jelas dan akademis sangatlah penting, karena penemuan-penemuan ilmiah bisa memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap orang Kristen dalam pergumulan homoseksualitasnya.  Yang saya maksudkan dengan ini adalah bahwa banyak orang Kristen yang memiliki keinginan homoseksualitas yang tidak sadar menginginkannya.  Kecenderungan homoseks tampaknya dimulai pada umur yang sangat muda yang kemudian ditambahi oleh pengaruh-pengaruh lainnya dalam hidupnya di kemudian hari, bisa membuat seseorang untuk condong mencari penyatuan emosi dan seks dengan sesama jenis.  Tujuan daripada makalah ini bukanlah untuk membuat penghakiman – namun bertujuan untuk melihat bagaimana orang bisa membuat pilihan-pilihan yang bertanggung jawab berdasarkan adanya keinginan-keinginan ini.  Untuk itu kita perlu mengetahui pandangan Alkitabiah mengenai hal ini..

Ini tidak semudah seperti kedengarannya.  Buku-buku dan artikel-artikel yang telah ditulis mengenai pandangan Alkitabiah tentang homoseksualitas memberikan  pandangan yang beragam.  Ada berbagai ayat-ayat yang relevan yang bisa dilihat dari berbagai sudut, tergantung dari kacamata yang dipergunakan untuk melihatnya.  Seorang penulis feminis berpendapat bahwa homoseksualitas merupakan minoritas yang tertekan yang harus dibebaskan untuk menjelajah keinginan-keinginan mereka, penulis yang lain membela homoseksualitas dengan menekankan bahwa beberapa ayat Alkitab dipengaruhi budaya dan tidak relevan untuk masa kini.  Penulis yang lainnya melihat adanya penyatuan homoseksualitas antara Jonatan dan Daud, juga antara Rut dan Naomi, merupakan pandangan yang sangat kontras dengan penulis lainnya yang memiliki pandangan yang keras dan menakutkan tentang homoseksualitas.  Untuk menghindari pandangan yang berlebihan, kita harus mulai dengan pandangan yang se-objektif mungkin dan kesediaan untuk menggali Alkitab secara lebih mendalam.  Konteks budaya, bahasa asli yang dipergunakan dan arti logis yang dimaksud oleh penulis semuanya merupakan pertimbangan yang akan menerangi kebenaran pandangan Alkitab mengenai homoseksualitas.
Kita bisa menemukan rentangan benang merah yang melandasi Alkitab dan menghubungkannya dengan ayat-ayat yang relevan dengan homoseksualitas.  Benang merah ini sejajar dengan tema Alkitab yang lebih luas mengenai penciptaan, kejatuhan dan penebusan.  Dimulai dengan Kejadian 1 dan 2, kita bisa menemukan rancangan mula-mula Tuhan – laki-laki sebagai laki-laki dan perempuan sebagai perempuan.  Kejatuhan manusia ke dalam dosa mengakibatkan penyimpangan daripada rancangan Tuhan untuk seksualitas manusia – Kejadian 3 dan 19 – dan peraturan-peraturan dibuat sebagai tanggapan terhadap penyimpangan ini, sebagaimana dicerminkan dalam hukum Taurat, perintah Allah yang ke sepuluh dan kode etika Imamat.  Akhirnya, dalam Perjanjian Baru, peraturan-peraturan tampak sebagai sarana rekonsiliasi – Roma 1:1, Korintus 6:9, 1 Timotius 1:10 – yang mengarahkan manusia yang berdosa kepada Kristus.
Landasan untuk mengawali adalah kehendak Tuhan untuk seksualitas manusia.  Ini didasari secara kuat oleh hubungan laki-laki dengan perempuan di mana, dengan kerangka kerja adanya komitmen untuk bersama-sama seumur hidup, membuat kasih  seksualitas diperhadapkan pada sanksi ilahi.  Sangatlah penting bagi kita untuk memahami kehendak Tuhan, karena kita harus senantiasa melandasi pemahaman kita di dalam terang rancangan Tuhan atas penciptaan untuk dapat menelaah variasi-variasi seperti homoseksualitas.1    Pertama, beberapa informasi yang melatar belakangi, Kejadian 1 menjelaskan adanya Pencipta yang memerintah dunia menurut rencana-Nya yang sempurna, yang memisahkan terang dari kegelapan, langit dari bumi, air dari samudera menjadi daratan.  Oleh Firman-Nya, bumi dipenuhi tetumbuhan dan binatang; laut dipenuhi ikan.  Ayat 26 menguraikan ciptaan-Nya yang paling utama – penciptaan manusia.  Tidak seperti ciptaan-ciptaan Tuhan yang sebelumnya, manusia dibuat menurut rupa dan kesamaan-Nya, mengikuti Tuhan dalam hakiki-Nya.
 
 Ayat 27 menguraikan citra ini.  Penciptaan manusia tidaklah semata-mata laki-laki atau semata-mata perempuan, tetapi kedua-duanya laki-laki dan perempuan.  Citra Tuhan, lalu, diwakili oleh seorang manusia laki-laki dan seorang perempuan.  Bersama-sama berdua, keduanya mencerminkan rancangan awal Tuhan.  Don Williams menulis:
Bentuk primitif daripada manusia adalah hubungan manusia sebagai laki-laki dan perempuan, dan hanya dalam komunitas bersamalah citra Tuhan dapat dilihat di bumi.2
Menjadi manusia adalah untuk memiliki hubungan dengan orang yang berlainan jenis.  Penyatuan yang diperlengkapi secara ilahi ini menjadi terpisah dalam ayat 27 dari tambahan berkat penciptaan-baru (ayat 28).  Jadi Tuhan menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan karena keberadaan-Nya paling nyata terlihat dalam bentuk dwi ini, kebenaran yang hakiki dari rancangan penciptaan-baru mereka. 3
Bab 2:18-25 memberikan beberapa alsaan penting untuk penyatuan dan memahkotainya dengan merayakan kasih seksual dalam konteks persetubuhan, persatuan heteroseksual.  Ayat 18 menyatakan rancangan Tuhan untuk mengurangi kesepian yang dirasakan manusia dengan memberikannya mitra-penolong.  Tidak ada binatang yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan penciptaan Tuhan yang paling rumit ini; seseorang yang seperti dia namun berbeda, sangat dibutuhkan untuk memenuhi rasa kesepiannya.  Barth mengamati:
Apabila ada mahluk yang seperti dia, yang merupakan pengulangan, pelipat gandaan secara angka, maka kesendiriannya tidak akan bisa berkurang karena mahluk seperti itu tidak akan dapat menghadapinya seperti seorang manusia yang lain tetapi ia akan melihat dirinya sendiri di dalamnya.4
Begitupun, perempuan diambil dari laki-laki hanya untuk dikembalikan lagi kepadanya untuk melengkapi satu sama lain secara sepadan.  Adam berkata tentang Hawa ‘daging daripada dagingku’ (ayat 23).  Penyatuan persetubuhan ini diuraikan lebih lanjut dalam ayat 24 sebagai tanda penyatuan seumur hidup seorang laki-laki dengan seorang perempuan, yang dikenal sebagai perkawinan.
Yang mendasari kebutuah emosional laki-laki ini adalah seksual, dan kebutuhan ini terpenuhi melalui perkawinan.  Intimasi seksual akan menyatukan kedua-duanya bersama; merekat komitmen satu terhadap yang lain di hadapan Tuhan.  Ini dicerminkan secara indah dalam tindakan seksual itu sendiri, lambang dinamis dari dua tubuh menjadi satu.  Satu orang diambil dari bagian tubuh orang yang lainnya dan dikembalikan lagi kepadanya dalam perayaan seksual yang merupakan pemenuhan Tuhan atas kebutuhan kedua orang tersebut.  Penyatuan yang demikian di antara dua anggota yang sesama jenis adalah salah karena menyalahi citra ilahi Pencipta – manusia sebagai laki-laki dan perempuan, sebagaimana juga pemenuhan seksual/emosional yang spesifik yang Tuhan telah buat untuk manusia.  Willan menulis, “Masyarakat dengan satu jenis seks tidak mencerminkan kehendak Tuhan untuk kita maupun pribadi-Nya di dunia.” 5
Kejadian bab 3 menguraikan kejatuhan manusia ke dalam dosa dan akibatnya yang buruk terhadap kehendak Tuhan untuk suatu hubungan seksual.  Keteraturan dirubah menjadi bencana, perlindungan ke pemisahan sewaktu ras manusia yang telah diciptakan menurut citra Allah memilih untuk meninggikan dirinya ke status seperti Tuhan (ayat 5).  Bila di bab 2:23 Adam dan Hawa tidak merasa malu dengan ketelanjangan mereka, maka di bab 3:7 ditunjukkan bahwa mereka menjadi sadar akan keberadaan mereka yang telanjang dan menjadi malu.  “Mereka jadi tahu bahwa mereka telanjang” dan mencoba untuk menutupi diri mereka seperti hendak menyembunyikan noda dari ketidak-taatan mereka.
Kepolosan awal mereka mengenai penyatuan persetubuhan menjadi hilang dan mungkin diganti oleh kesombongan tertentu atau keragu-raguan tentang diri sendiri, mungkin juga dengan nafsu yang tajam dengan ketamakannya dan rasa memilikinya yang tinggi.  Seksualitas mereka berantakan, seperti ditulis Milton dalam Paradise Lost (Surga yang Hilang), di mana Adam berkata kepada Hawa:
Tak pernah kurasakan seperti ini kecantikanmuYang membakar syahwatku dengan nafsuUntuk menikmati drimu, semakin cantik sekarang daripada sebelumnyaHasil daripada pohon kebajikan ini
Demikianlah kata dia dan tanpa tatapan atau usahaBara cinta, yang dipahami dengan baikOleh Hawa, yang Matanya menyulut Api yang membara. 6
 
 Nafsu merasuki mereka berdua dan mengawali sejarah sikap seksual yang akan membara di luar tungku api perkawinan.  Kita bisa menyimpulkan, kemudian, bahwa setiap tindakan seksual yang dilakukan di luar persetubuhan,  penyatuan heteroseksual adalah bertentangan dengan kehendak Tuhan yang ilahi dan menunjukkan kejatuhan manusia.
Contoh Alkitab yang pertama mengenai sikap homoseksual terjadi di Kejadian 19.  Kefasikan penduduk Sodom mendorong Tuhan untuk menghancurkan kota tersebut.  (Pada titik ini, sifat daripada kefasikan itu tidak diketahui).  Tetapi sebelum kehancuran Sodom, Tuhan memanggil orang-orang yang hidup dalam kebenaran – Lot dan keluarganya – dengan cara mengirim dua malaikat untuk memperingatkan mereka akan rencana Tuhan untuk menghancurkan kota itu.  Orang-orang di kota mencari untuk ‘mengetahui” para malaikat itu, yang, dalam paras laki-laki, menarik bagi para lelaki penduduk kota Sodom.  Lot berusaha keras untuk menawarkan anak perempuannya untuk pertukaran; namun para lelaki itu, tidak tertarik, dan melanjutkan kekerasan mereka dan dibutakan secara ilahi.  Keluarga itu meninggalkan kota yang tidak lama kemudian dihancurkan oleh Tuhan.
Ini memunculkan satu pertanyaan penting, dan semakin penting – apakah yang menjadi dosa Sodom?  Hingga tahun 1955, hampir semua penterjemah sepakat bahwa dosa Sodom adalah nafsu homoseksual dengan kekerasan.  Menurut pendeta/penulis Jerry Kirs, ini merupakan pandangan yang dipegang oleh Luther, Calvin, Barth, Gerhard von Rod, Bruce Metzger, William Harrison, Paul Jewett, Don Williams dan David Bartlett.7  Melalui pendukung hak-hak para gay Kristen, Bartlett mempertahankan bahwa “integritas cerita tersebut menunjukkan apa yang menjadi isu … yaitu persetubuhan.” 8
Jadi siapa yang memperdebatkan hal ini?  Pada tahun 1955, Bailey, seorang pendeta Anglikan, menulis buku berjudul Homoseksualitas dan Tradisi Kristen di Barat dalam usaha untuk menunjukkan beberapa kesalahan pandangan yang mengatakan bahwa sikap tuan rumah yang buruk yang menjadi alasan bagi kejatuhan kota Sodom, dengan menekankan bahwa “ceritanya sama sekali tidak menyatakan bahwa dosa Sodom adalah permasalahan seksual, apalagi homoseksual …” 9 Sebagai bukti, Bailey menunjukkan bahwa kata kerja di ayat 5 – yadha, atau “untuk mengetahui” – sebagai berarti ‘untuk mengenal”.  Ia memastikan berdasarkan ini bahwa hanya sepuluh dari 943 kata kerja di Perjanjian Lama memiliki makna yang berkonotasi seksual.  Oleh karena itu, ia mengilangkan dosa Sodom dari apapun yang berkaitan dengan seksual dan menyatakan bahwa para lelaki penduduk kota Sodom menjadi marah kepada Lot, warga pendatang asing, karena ia gagal untuk menanggapi keinginan tahu mereka mengenai dirinya dan tamu-tamunya, para malaikat.  Kefasikan inilah yang mendorong kehancuran kota ini.  Terjemahan Bailey meluas dan sampai hari ini menjadi perdebatan pendukung-gay yang paling kuat di kalangan gereja.
Tetapi pertimbangan yang logis menunjuk kesalahan Bailey.  Walaupun yadha secara mendasar berarti untuk mengenal seseorang, namun kata ini bisa juga berarti persetubuhan seksual sebagaimana halnya di Kejadian 4:1:  “Adam mengenal Hawa ... dan ia mengandung” (ayat 7) dan patut mendapat penghukuman.  Bailey juga gagal untuk menjelaskan secara memadai mengapa Lot menawarkan anak perempuannya sebagai pengorbanan seksual (ayat 8) ke para lelaki yang dengan siapa ia tidak mau kenal.  Jadi jika orang mau memakai makna logis ini untuk menerangkan yadha dalam terang konteks ini dan memberikan alasan masuk akal bagi sambungan cerita ini, “untuk mengenal” dalam ayat 5 tidak bisa tidak berarti homoseksual.
Orang bisa mengasumsikan bahwa pertukaran dalam Bab 19 merupakan petunjuk sikap dan perilaku yang berkelanjutan.  Namun adalah salah, untuk tidak melihat faktor-faktor yang mendasarinya yang membuat penyimpangan seksual menjadi simbol yang tragis.  Dalam Kejadian 23:14,  Jeremiah menunjukkan kepada pendengarnya hal yang mirip dengan orang-orang Sodom bahwa mereka terus berselingkuh dan berbohong dan tidak mau balik dari perilakunya yang bejat.  Sangat masuk di akal bahwa perselingkuhan di sini berkaitan dengan kecenderungan homoseksual para lelaki yang kedua-duanya bergerak di luar penyatuan persetubuhan yang dimaksud.  Ezekiel 16:49-50 menunjukkan tiga faktor sosial – kesombongan hidup, waktu luang yang berlebih, cukup makanan –menpercepat penurunan moral daripada orang-orang Sodom.  Kehidupan santai tertentu bergandengan tangan dengan kesombongan Sodom dan mungkin mendorong mereka untuk mengikuti hawa nafsu mereka yang bertentangan dengan pengaturan penciptaan Tuhan.  Hawa nafsu ini dinyatakan oleh para lelaki dengan “memberikan diri mereka bagi percabulan dan mengejar kepuasan-kepuasan yang tak wajar,” menurut Judas 1:6 dan 7,
Tetapi apakah relevansinya bagi orang-orang homoseksual pada masa kini?  Tentunya, para gay tidak akan mempertimbangkan hawa nafsu yang agresif sebagai pilihan yang patut, sama seperti para heteroseksual.  Tetapi ceritanya berlanjut untuk mencerminkan seksualitas manusia yang telah melampaui batas kewajaran.  Orang-orang Sodom, apakah mereka bertindak berdasarkan nafsu lama yang terpendam ataukah berdasarkan nafsu yang spontan yang sadis, telah secara sadar menentang rancangan Allah bagi seksualitas manusia dalam konteks penyatuan persetubuhan yang heteroseksual.  Jadi, penempatan keinginan manusia di atas keinginan sang Pencipta telah melahirkan dosa dan dampaknya dapat kita lihat sekarang ini.
Keinginan manusia yang demikian dilarang dalam perintah yang ke sepuluh: “Jangan berzinah” (keluaran 20:14).  Secara tradisi diberlakukan bagi setiap penyatuan persetubuhan seksual di luar perkawinan, 10  perintah ini meliputi berbagai kegiatan seksual, baik itu heteroseksual, homoseksual atau variasi macam apapun dari penyatuan persetubuhan.  Peraturan-peraturan Imamat menguraikan berbagai variasi ini.  Pasal 18:20 berisi daftar beberapa penyatuan persetubuhan seksual yang dilarang oleh Tuhan, termasuk tindakan homoseksualitas dalam 18:22 dan 20:13. Tetapi sebelum masuk lebih dalam pada referensi-referensi khusus kita harus meninjau konteks yang lebih luas daripada pasal-pasal ini.
Pasal 18 dimulai dengan pernyataan, “Akulah Tuhan Allahmu” (ayat 2).  Ia memerintahkan umat Israel untuk mengikuti cara-cara-Nya daripada mengikuti cara-cara hidup orang Mesir dan Kanaan, dengan menyiratkan adanya ancaman berupa  pencemaran dari pengaruh-pengaruh luar.  Kepeduliannya semakin meningkat dalam 19:2: “Hendaklah engkau kudus sebab Aku kudus” (ayat 2).  Ia memerintahkan umat Israel untuk mengikuti jalan-jalan-Nya   Larangan yang mengelilingi pernyataan inti inilah yang membedakan bangsa Israel dari bangsa-bangsa lain.  Perintah untuk menjaga diri agar tidak tercemar oleh praktek-praktek agamawi dan moralitas daripada bangsa-bangsa lain mencerminkan keberadaan Tuhan yang kudus.  Letha Scanzoni menulis dalam bukunya yang berpengaruh Apakah Tetangga Saya Homoseks?,   ada tiga alasan adanya kode etika kekudusan umat Israel, yakni:
  1. Pemisahan dari adat-istiadat bangsa lain.
  2. Menghindari perzinahan.
  3. Kenajisan upacara11

Ayat 6-18 dari pasal 18 melarang untuk menyingkapkan auratnya yang memalukan di antara orang-orang yang memiliki pertalian darah, yang bisa menjurus ke persetubuhan.  Pertimbangan di sini adalah bahwa laki-laki dan perempuan telah dipersatukan menjadi satu daging12 , dan ketelanjangan mereka hanya boleh disingkapkan kepada pasangan mereka saja, seperti dinyatakan dalam ayat 8. Penerapan aturan ini selaras dengan kehendak Tuhan dan memisahkan umat Israel dari pencemaran moralitas daripada bangsa-bangsa lain.  Untuk kekudusan upacara, ayat 19 melarang wanita untuk melakukan persetubuhan saat sedang mengalami menstruasi.  Imamat 15:18-28 menerangkan mengapa darah menstruasi wanita dianggap sebagai kenajisan yang dapat mencemari bait Allah. Oleh karena itu pertimbangan-pertimbangan khusus harus dilakukan selama masa menstruasi dalam bulan yang bersangkutan.  Menurut salah seorang komentator, kekudusan dicerminkan dalam kesempurnaan tubuh, yang pada akhirnya, usaha umat Israel untuk menjaga “integritas, persatuan dan kemurnian daripada tubuh jasmaninya” berkaitan  dengan “batas-batas ancaman terhadap tubuh politik bangsa Israel” (lihat catatan kaki 14, hal. 84).
Ayat 20 menjelaskan perzinahan sebagai hal yang najis karena mencemari penyatuan persetubuhan yang diurapi oleh Tuhan.  Perzinahan yang didasari ritual-ritual yang berapi-api dan melibatkan anak-anak juga dilarang dalam ayat 21.  Seorang komentator meyakini bahwa ayat ini berada ditengah-tengah rangkaian tindakan-tindakan seksual tidak senonoh di mana “mungkin anak-anak dipersembahkan di kuil untuk dijadikan pelacur lak-laki dan perempuan di kuil.”13  Ayat 21 membahas mengenai  kegiatan homoseksual. Kegiatan homoseksual dilihat sebagai suatu “kekejian” – toebah – kata Ibrani yang menyatakan sesuatu yang sangat menjijikkan bagi Tuhan dan tidak selaras dengan kepribadian-Nya.14 Dengan mengacu pada tiga alasan Scanzoni untuk kode etika kekudusan bangsa Israel, kita bisa menentukan bagaimana perilaku homoseksual bisa bertentangan dengan kode etika ini.


Pertama, kegiatan semacam ini merupakan praktek yang umum dilakukan di daerah seperti Mesopotamia.15 Kedua, banyak yang berpendapat bahwa perilaku homoseksual berkaitan dengan perselingkuhan rohani, seperti disiratkan oleh pelacuran anak-anak di ayat 21 dan beberapa referensi khusus dalam 1 Raja-Raja 14:24; 15:12 dan 22:46 mengecam keberadaan pelacuran laki-laki di sekte-sekte Israel.  Tetapi Bailey, secara mengejutkan dengan cara yang orthodoks, memperdebatkan bahwa larangan dalam ayat 22 jangkauannya melampaui perzinahan seksual daripada bangsa-bangsa kafir.  Ia menulis:
Perilaku [homoseksual] dilihat sebagai “kekejian” ... karena merupakan kebalikan daripada apa yang alami, perilaku ini menunjukkan perzinahan rohani yang secara mendasar merupakan tindakan makar yang mendasar daripada keteraturan yang sejati.16
Dengan demikian, perilaku homoseksual menunjukkan praktek-praktek sosial dan agamawi daripada bangsa-bangsa kafir yang Tuhan ingin pisahkan dari bangsa Israel.  Namun, dalam tingkatan yang lebih mendalam, homoseksualitas bertentangan dengan landasan kerangka kerja rancangan penciptaan Tuhan, sehingga mendapat label sebagai kekejian.
Kategori Scanzoni yang ketiga – ketidaktahiran/kenajisan upacara/ritus – juga bisa mengacu pada perilaku homoseksual.  Ayat-ayat yang berdekatan dengan ayat 22 menunjukkan kegiatan-kegiatan yang merupakan ritus yang najis, seperti melakukan persetubuhan selama masa menstruasi.  Seorang pengarang berpendapat bahwa kata najis berlaku untuk ketidak tahiran ritus daripada perilaku homoseksual dan menyamakannya seperti halnya memakan daging babi.17  Ayat 23 menyimpulkan seluruh gambaran ini dengan melarang persetubuhan dengan binatang hewan dan diikuti oleh peringatan Allah bagi bangsa Israel untuk tidak mencemari dirinya dengan melakukan praktek-praktek yang najis.
Pasal 19 berisi berbagai aturan dan hukuman atas perilaku tidak bermoral dalam pasal 20.  Homoseksualitas dilihat di ayat 13 sebagai kenajisan yang patut dihukum dengan hukuman mati.  Selanjutnya ayat 13 merupakan peringatan untuk tidak melakukan incest (persetubuhan dengan saudara sekandung atau orangtua kandung) dan poligami.  Konteks yang lebih luas meliputi perzinahan (ayat 10, 20-21), persetubuhan dengan binatang hewan (ayat 16), dan menyingkapkan aurat (ayat 17,19) dan kegiatan seksual selama masa menstruasi (ayat 18). Bab ini diakhiri oleh Tuhan dengan perintah bagi umat-Nya untuk menjadi kudus, agar berbeda dari bangsa yang lain.  Hal ini berlaku pada perilaku seksual yang dilakukan di luar penyatuan persetubuhan heteroseksual seperti diuraikan dalam Kejadian 2:24.
Tetapi sampai di mana peraturan-peraturan Imamat ini masih berlaku bagi orang-orang Kristen pada masa sekarang?  Letha Scanzoni menanyakan hal berikut:
Jika Etika Moral Kekudusan bangsa Israel diperhadapkan dengan homoseksual pada abad ke 20, harus diperbandingkan sama halnya dengan memakan daging setengah matang, mengenakan bahan kain campuran dan melakukan persetubuhan seksual selama masa menstruasi.18
Dengan kata lain, mengapa perhatian hanya diberikan kepada aturan moral dan tidak kepada aturan-aturan lainnya yang bersifat diet makan dan ritual?  Jawabannya ada pada Alkitab itu sendiri.  Jerry Kirk menunjuk ayat-ayat referensi dalam Perjanjian Baru yang memerintahkan orang-orang Kristen untuk mengesampingkan aturan-aturan tentang diet makan – Kisah Rasul-Rasul 10:9-16; Roma 14:1-4, 14:13-21 – seperti halnya upacara – Galatia 3:1-14; 5:1-12; Ibrani 8-10.19  Sebaliknya aturan-aturan moral selanjutnya tetap ditegakkan di dalam Perjanjian Baru, seperti dapat dilhat pada acuan bebas Rasul Paulus mengenai hukum Taurat dalam 1Timotius 1:9-10 (ini akan diuraikan secara lebih mendalam nanti) yang juga memberikan referensi terhadap perilaku homoseksual.  Perilaku ini dinyatakan bertentangan dengan perintah ke tujuh seperti halnya persetubuhan dengan binatang hewan, persetubuhan dengan anggota keluarga pertalian darah (saudara sekandung atau orangtua) dan perselingkuhan yang semuanya dilakukan di luar perkawinan yang kudus.  Tujuan daripada peraturan moral ini pada hari ini adalah untuk mengarahkan semua yang menentang hal ini kepada Kristus, seperti akan dijelaskan kemudian. 
Masalah homoseksual diutarakan dan dibahas secara sangat jelas di dalam Perjanjian Baru di Roma 1.  Di sini Rasul Paulus menjelaskan beberapa faktor yang mengarah pada kegiatan homoseksual.  Pandangan yang sesat mengenai Tuhan membawa ke suatu kejatuhan moral yang dimanifestasikan dalam bentuk meninggikan diri lebih tinggi daripada sang Pencipta.  Ketika manusia terpisah dari Tuhan dan dari aturan-Nya yang alami, ia lantas dibebaskan untuk mengumbar nafsunya, seperti keinginan homoseksualnya.  Rasul Paulus sepertinya tidak membahas mengenai satu segi aspek masyarakat yang fasik secara berlebihan; namun, ia memberikan suatu pandangan umum dan melihat pergumulan manusia dengan dosa secara umum dan beberapa gejala-gejala dosa manusia.  Berdasarkan pendapat Rasul Paulus bahwa manusia memiliki pengenalan akan Tuhan melalui ciptaan-Nya (1:20) dan bahwa ia sebaliknya mencari pemuasan akan kebutuhannya untuk mendapatkan kasih melalui cara yang tidak alami atau dalam batas kewajaran (1:26, 27), orang bisa saja mengasumsikan secara aman bahwa konteks Rasul Paulus adalah mengenai penciptaan.20 Dibarengi dengan faktor penyembahan berhala sama seperti yang ditemukan pada Imamat 18, Roma 1 merupakan penghubung yang berkelanjutan dalam pelarangan Alkitabiah atas perilaku homoseksual.
Ayat 16 dan 17 pada Roma 1 menjelaskan Injil sebagai kekuatan dan kebenaran Tuhan yang disingkapkan kepada orang-orang yang mempercayainya, baik itu orang Yahudi maupun bukan Yahudi.  Sangat kontras dengan kebenaran Injil adalah bahwa manusia tidak berada di dalam kebenaran (ayat 18).  Ini tampaknya ditujukan kepada manusia secara umum, seperti orang bukan Yahudi, yang sepertinya memiliki kebenaran namun menekannya.  Kenyataannya adalah manusia telah memiliki kebenaran namun karena terus menerus bertindak sesat sehingga menimbulkan amarah Tuhan.
Tetapi apabila orang-orang ini bukan orang Yahudi, bagaimana mereka bisa memegang kebenaran?  Dalam ayat 19 dan 20, Rasul Paulus menunjuk pada karya nyata Tuhan di dalam ciptaan-Nya.  Melalui hasil karya tangan-Nya (Mazmur 19:1), Tuhan telah menyingkapkan kepada manusia kenyataan akan diri-Nya dan keteraturan semesta.  Salah satu aspek yang relevan mengenai penciptaan adalah pembuatan manusia sebagai laki-laki dan perempuan.  Suatu keagungan dan keharmonisan tampak dalam penciptaan yang memberikan manusia suatu pengenalan akan Tuhan yang kepada-Nya ia harus bertanggung jawab; seperti ditulis oleh Rasul Paulus, “manusia tidak memiliki alasan apapun” (ayat 21).
 
 Ayat 21-23 dan 25 menjelaskan spiral kejatuhan yang diawali oleh ketidak benaran mereka.  Walaupun mengenal Tuhan, mereka gagal untuk memuliakan-Nya sebagai Tuhan dan untuk bersyukur kepada-Nya.  Kesalahan dan kebingungan timbul, seperti untuk memisahkan merka lebih lanjut dari Tuhan dan dengan demikian mengikat mereka pada pemikiran-pemikiran yang menyimpang tentang Tuhan.  Hikmat mereka menjadi kebodohan (ayat 22), seperti dinyatakan dalam pembuatan berhala-berhala menurut citra manusia dan binatang (ayat 23).  Ayat 25 menyatakan bagaimana kesombongan dilepaskan melalui penyembahan berhala ini.  Kebenaran Tuhan, yang secara alami tersirat, telah dikoyakkan oleh suatu mahluk yang merupakan usaha yang salah untuk meninggikan dirinya di atas sang Pencipta.  Manusia mengganti Tuhan dengan mahluk lain sebagai sosok untuk dilayani dan disembah; sebagai akibatnya,  keteraturan moral dilecehkan oleh ketidak benaran manusia.
Berbagai bentuk ketidak teraturan moral ini dijelaskan pada ayat-ayat berikutnya.  Akibat penolakan mereka untuk mengakui-Nya, Tuhan melepaskan mereka, atau meninggalkan mereka pada hawa nafsu hati mereka.  Hawa nafsu ini membawa ketidak murnian atau ketidak moralan dalam wujud orang-orang memperlakukan tubuh mereka secara tidak senonoh.  Rasul Paulus menunjuk pada hawa nafsu yang ada dalam diri mereka, dengan asumsi bahwa perilaku homoseksual diawali oleh hawa nafsu homoseksual. Tindakan untuk memenuhi hawa nafsu inilah yang melahirkan dosa, sebagaiman ditekankan oleh Yakobus 1:14 dan 15.  Jadi Rasul Paulus memasukkan pertimbangan bahwa orang-orang ini mungkin telah memiliki kecenderungan homoseksual sebelumnya.  Apa yang dilakukan seseorang dengan kecenderungannya inilah yang menjadi permasalahan utama.  Namun, dihadapkan pada hati yang keras, tindakan Tuhan adalah dengan melepaskan mereka dalam berbagai hawa nafsu yang berakhir dengan perilaku yang bebas dan tidak bermoral.
Ayat 26-32 menyatakan para wanita menukar kegunaannya yang alami dengan kegunaan yang tidak alami.  Penggunaan atau fungsi ini, menurut Kamus Perjanjian Baru bahasa Yunani,21 mengacu pada persetubuhan heteroseksual.  Dengan menyangkal hal ini, para wanita dilepas untuk melakukan kegiatan lesbian.  Dan sama halnya, para pria meninggalkan wanita dan melakukan tindakan homoseksual yang memalukan.  Penghukumannya, sekali lagi, adalah kebebasan untuk menjelajah kegiatan seperti ini dan akhirnya terperangkap di dalam hawa nafsu mereka.  Ayat-ayat berikutnya menjelaskan daftar perilaku lain dan perbuatan-perbuatan yang menjadi ciri-ciri daripada pemisahan diri secara sadar dari Tuhan.
Banyak teologiawan yang berpihak pada gay mengatakan bahwa contoh daripada laki-laki dan perempuan menukar kegunaan alami dengan yang tidak alami hanya berlaku untuk yang heteroseksual (seperti Scanzoni, Balir, Boswell, Bailey).  Dengan kata lain, untuk homoseks yang murni, tindakan ini adalah alami.  Tetapi landasan acuan pemikiran Rasul Paulus menjangkau lebih luas daripada pernyataan tersebut; ia mengkaitkan hal ini dengan keteraturan penciptaan Tuhan yang alami.  Ia berpendapat bahwa semua orang memiliki pengetahuan akan keteraturan ini dan namun dengan tindakan mereka yang meninggikan dirinya dan hawa nafsu mereka di atas Tuhan, mereka telah menolak keteraturan ini.  David Fields menulis, “Hubungan yang alami mengacu pada laki-laki dan perempuan sebagaimana diciptakan oleh Tuhan...Pada saat ditempatkan dalam konteks penciptaan, semua hubungan homoseksual menjadi tidak alami.”22 Lebih lanjut, nyata dalam ayat 24 bahwa Rasul Paulus sadar akan adanya nafsu-nafsu homoseksual.  Perdebatannya dengan teologiawan yang berpihak pada gay mungkin adalah walaupun sepertinya alami, namun nafsu ini masih diarahkan di luar rancangan Tuhan dan dengan demikian berakibat dosa bila dilakukan.
Perdebatan kedua yang penting terhadap pemahaman yang lebih tradisional dari Roma 1 berpegang pada bahwa perilaku ini hanya berlaku pada penyembah berhala dan tidak pada orang Kristen.  Namun bukankah orang Kristen juga memiliki kecenderungan untuk melayani nafsu manusia daripada kehendak Tuhan.  Orang Kristen yang secara sadar menyerah secara sadar kepada hawa nafsu homoseksualitasnya sepertinya juga bersalah menerapkan bentuk penyembahan berhala di mana ia menolak aturan moral Tuhan untuk memenuhi hawa nafsunya.  Ini disinggung dalam Imamat pasal 18 yang melarang perilaku homoseksual untuk (antara lain) yang dihubungkan dengan upacara-upacara keagamaan di dalam penyembahan berhala.  Seperti telah disinggung sebelumnya, kegiatan seperti ini merupakan wujud penyembahan berhala secara moral dalam hakikinya yang sejati karena bertentangan dengan rencana penciptaan Tuhan.  Richard Lovelace menulis:
Meskipun dalam budaya Kristen di mana Tuhan tidak disembah di dalam Roh dan kebenaran, kecenderungan di dalam diri manusia untuk berdosa dan pengungkapannya keluar bisa dengan mudah berkembang.  Homoseksualitas orang --- adalah produk daripada tatanan sosial yang telah rusak dalam masyarakat yang menyembah berhala.23
Referensi Alkitab yang terakhir tentang homoseksualitas ada di 1 Korintus 6:9 dan 1 Timotius 1:10.  Yang terakhir ada di tengah-tengah pembahasan hukum Taurat secara bebas sebagai usaha Rasul Paulus untuk menunjuk fungsi mendasar daripada hukum tersebut.  Ia memulai di ayat 8: “Kita tahu bahwa hukum Taurat itu baik kalau tepat digunakan.”  Ia melanjutkan dengan bahwa peraturan diterapkan ke orang-orang yang tak mengenal peraturan untuk menerangi dosa mereka dan mengarahkan mereka ke kebenaran.  Rasul Paulus kemudian membuat daftar beberapa bentuk pelanggaran hukum – pembunuh, penculik, orang durhaka dan “segala sesuatu yang bertentangan dengan pengajaran yang benar” (1 Timotius 1:10) – yang meliputi dua referensi yang berlawanan dengan perintah ke tujuh, orang fasik dan homoseksual. Kata Yunani untuk homoseksual adalah arsenokoitai. Apabila diterjemahkan secara langsung, kata tersebut berarti laki-laki – arsen – dan persetubuhan seksual – koitai (koitus) – berasal dari referensi aslinya yang mengacu pada ranjang perkawinan.  Jadi arsenokotiai mengacu pada para lelaki yang berhubungan persetubuhan seksual bersama. Banyak orang yang  memperdebatkan bahwa ini hanya berlaku bagi pelacur laki-laki, tetapi tidak dapat memberikan bukti yang cukup kuat untuk mendukung pendapatnya ini.24  Berdasarkan teks, kita bisa menyimpulkan bahwa Rasul Paulus mendefinisikan persetubuhan homoseksual, dengan jelas, sebagai pelanggaran terhadap hukum Tuhan. 
Namun bagaimana pandangan ini bisa selaras dengan kotbah Rasul Paulus mengenai kasih karunia?  Bagi orang yang bergumul dengan homoseksualitas, hukum seperti itu lebih tampak sebagai beban daripada memberikan pengharapan.  Kita harus mengikuti pimpinan Rasul Paulus dalam 1 Timotius.  Manusia telah menyimpang dari rancangan Tuhan yang sebenarnya dalam berbagai cara: hukum berbalik menyingkapkan kesalahannya, maksudnya, namun, bukan untuk menghakimi tetapi untuk menunjuk  manusia ke arah sumber pengampunan dan pembaharuan kekuatan. Sumber ini adalah kasih karunia yang diterima melalui iman kepada Kristus.  Rasul Paulus menulis dalam Galatia 3:24: “Hukum telah menjadi pengajar kita yang memimpin kita ke Kristus, supaya kita bisa dibenarkan oleh iman.”
Pembebasan dari jeratan hukum dirayakan dalam 1 Korintus 6:9-11.  Rasul Paulus memulai dengan menyinggung berbagai perilaku yang, jika tidak ada pertobatan, mengeluarkan orang dari hak mewarisi kerajaan Allah.  Dua kata berlaku dalam studi kita – arsenokoitai (sudah dilihat dalam 1 Timotius) dan malakoi.  Malakoi berasal dari kata sifat bahasa Yunani yang berarti halus dan pemenuhan kepuasan diri sendiri.  Sebagai kata benda, kata ini berlaku untuk “pria dan anak laki-laki yang membiarkan dirinya disalahgunakan sebagai homoseksual.”25 Lovelace mengatakan bahwa perbedaannya adalah bahwa malakoi mengacu pada pasangan yang pasif yang dipergunakan di dalam hubungan homoseksual sedangkan arsenokoitai mengacu pada pasangan yang lebih aktif. Apakah ini meliputi pelacuran laki-laki atau hubungan homoseksual yang saling mengasihi, hal ini tidak relevan; Rasul Paulus menunjuk kepada kesalahan perilaku homoseksual secara umum. 
Ia menyimpulkan dalam ayat 11 bahwa “begitulah keadaan beberapa orang di antaramu.” Banyak di antara anggota jemaat di Korintus yang telah dibentuk dan disimpangkan oleh budaya seksual yang tidak bermoral.  Tetapi Rasul Paulus memandangnya sebagai bentuk masa lampau; yang penting di masa sekarang adalah pembasuhan Kristus dan karya pembaharuan yang telah Ia mulai di dalam hidup mereka.  Jelas bahwa tantangannya yang halus untuk bertobat bergandengan tangan dengan kasih Kristus, bahwa dengan berpaling ke orang tersebut memungkinkan orang tersebut menjadi sumber dukungan dan pemulihan yang lebih dimensional (saya akan senang untuk membahasnya lebih lanjut tetapi hal ini akan memerlukan tambahan lembar kertas).
Alkitab, lalu, tidak berdiam diri atau tidak mengambang dalam referensi terhadap homoseksualitas.  Rencana penciptaan Tuhan untuk seksualitas manusia membentuk standar untuk melihat penyimpangan yang kelihatan yang merupakan akibat dari kejatuhan manusia ke dalam dosa.  Para lelaki di Sodom mengungkapkan kejatuhan dalam wujud keinginan homoseksual; perintah ke sepuluh daripada hukum Taurat dan peraturan Imamat menanggapi perilaku tersebut dengan melarangnya.  Perjanjian Baru menyatakan perilaku homoseksual adalah tidak alami dan berbentuk penyembahan berhala (Roma 1), sebagai dua referensi khusus untuk menunjuk kesalahannya.  Tetapi ini hanyalah permulaan.  Ayat-ayat ini mendorong kaum homoseks untuk berjalan diperbaharui dengan Kristus, yang akan membebaskannya untuk menjelajah rencana sang Pencipta.