Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militerby Pramoedya Ananta Toer
Indonesian comfort women during the Japanese occupation, 1942-1945.
Jangan sekali-kali melupakanSejarah!!! Entah, disadari atau tidak Ternyata Negeri Kita Memang penuh dengan Kejahatan HAM. kasus Mesuji dan Tanjung Priuk saja yang hanya menyebabkan ratusan orang hilang / mati / diculik tidak pernah terkuak lagi. Pemerintah seakan TUTUP MATA.. bagaimana dengan Kisah ini.. Ribuan REMAJA PUTRI kita telah dijadikan BUdak sex Oleh warga jepang. Bagaimana Tanggung Jawab Negara Jepang Yang sampai sekarang menjajah ekonomi kita!!!
Beberapa Komentar enting Terkait Fakta yang Mencengangkan dan Miris
Wirangggeni: berisi tentang kekejaman Jepang terhadap para gadis Indonesia yang dijadikan budak.
Herru: Baca dan kalian semua akan dibuat untuk mengerti sejauh apa kepahitan, kesakitan, kesedihan, keputusasaan yang dialami oleh perempuan-perempuan yang disebabkan oleh JEPANG.
Ryan: Catatan Pram yang masih tersisa dari pembakaran buku2 beliau pada masa orde baru. PRDCM, banyak mengungkap data historis tentang pelecehan seksual ribuan perawan jawa pada masa penjajahan Jepang.
Mahe: Lagi...cerita ttg orang-orang yg terlupakan atau bahkan mungkin sengaja dilupakan, jugun ianfu. Kali ini biang keroknya Jepang! Human trafficking! Saat ini masih terjadi...menyedihkan. Pelakunya saudara kita sendiri, menjual anak perempuan sendiri. Menjual anak didiknya sendiri...
Iva: sejarah yang bagus untuk tidak dilupakan begitu saja..
gak bisa membayangkan gimana rasanya jadi gadis2 itu yang dijanjikan sekolah ke tokyo tp ternyata untuk dijadikan pelacur.. setelah Jepang pergi pun hidup mereka harus menanggung malu dan terperosok menjalani kehidupan pribumi jauh di pedalaman...
Azia: gw ga sanggup ngebayangin...gadis2 yang dikirim oleh Jepang untuk belajar agar lebih berpendidikan setelah kemerdekaan Indonesia....masih sangat muda...14thn-20thn...ternyata untuk memenuhi kebutuhan seks tentara Jepang...merekalah jugun ianfu korban-korban tersebut selain cantik2 juga berasal dari keluarga yang cukup berada. anak lurah.anak kades.
sedih banget bacanya...selain karena perlakuan kejam tentara Jepang. setelah Indonesia merdeka, mereka ditelantarkan dan tidak dipulangkan ke indonesia..ada yang di thailand...ada yang di Singapura...mereka pun enggan pulang, karena malu dengan keluarga mereka...sampai saat ini perjuangan mereka masih menuntut pemerintah Jepang atas tindakan tentaranya di perang dunia 2 masih terdengar dari Indonesia, Korea selatan..
Sally: Saya membaca buku ini sekitar bulan April, tahun 2006. Ini adalah non-fiksi pertama Pram yang saya baca. Riset yang sangat baik dari seorang cendikia seperti Pram.
Baru-baru ini saya membacanya lagi. Saya sangat suka bab terakhir dalam buku ini. Bab tersebut berjudul Menjejak Ibu Mulyati Dari Klaten. Dalam kondisi pembuangannya di Pulau Buru, Pram bersama kawan-kawannya mencari jejak seorang wanita Jawa yang menjadi korban "penipuan" tentara Jepang. Mereka yang menjadi korban adalah gadis-gadis pribumi berparas cantik yang terlahir dari keluarga pengreh praja/priyayi. Tentara-tentara Jepang tersebut menjanjikan pendidikan yang lebih baik di Tokyo pada gadis-gadis ini. Namun, seperti yang kita ketahui sekarang, mereka akhirnya menjadi jugun ianfu (gadis penghibur).
Salah satu daya tarik dalam bab ini adalah perjalanan seorang kawan Pram bernama Sarony dalam pencariannya menemui seorang wanita Klaten bernama Mulyati. Ia harus melewati bukit-bukit terjal, menemui suku-suku terdalam dan hidup seperti mereka. Semua itu dilakukannya hanya untuk menemui Ibu Mulyati seorang. Selain itu, gambaran Sarony tentang pulau yang dijadikan tempat pembuangan tawanan politik ini sungguh mengasyikan untuk dibaca.
"Beberapa batang pohon di tebing itu sebagian akarnya berada di permukaan tanah. Akar-akar itu berkaitan satu dengan yang lain, saling melilit, saling mempertahankan, seperti ular besar berkelahi di tepi jurang. Masing-masing berusaha menang dengan ekor tetap berpengangan mencegah jatuh ke dasar jurang.
Dedaunan dan dahan pohon meneduhi jalanan yang kami lalui. Sebagian condong ke atas air. Jutaan serangga merayap naik-turun pada batang lapuk, bekerja membangun istana baru. Sebuah mahligai yang telah mereka tinggalkan tergantung sunyi pada dahan, sebesar guci." (hal. 111)
Pada paragraf tertentu saya menjadi sedikit emosional karena pendeskripsiannya yang sangat baik dan romantis, ini salah satunya:
"Jalan setapak memasuki hutan gempol itu sedikit berair. Anggrek bulan dengan bunga birunya yang sedang mekar menggelantung dibuai angin pagi. Juga jenis anggrek bulan lain dan anggrek merpati ramai bergelantungan pada pohon gempol. Malah serumpun anggrek harimau tenang-tenang mendekam di ketinggian cabang. Bunganya yang kuning berbelang coklat serasa hendak meloncat untuk menerkam. Sayang sekali keindahan alam itu masih belum dapat dinikmati orang buangan ini. Juga tidak oleh penghuni kampung-kampung di gunung. Mereka baru bisa bicara tentang lapar." (hal. 112)
Buku ini semacam surat yang ditulis Pram kepada para perawan remaja masa depan (sekarang?) bahwa dahulu pernah ada sebuah tragedi yang memilukan, mengguncangkan, menakutkan, dan menyuramkan.
Hendra : buku ini mengisahkan penelusuran akan wanita buangan di pulau Buru. Wanita-wanita buangan itu ialah wanita-wanita yang pada tahun 1943-1944 diiming-imingi oleh pemerintahan balatentara Jepang untuk belajar ke Tokyo dan Singapore, dengan tujuan kelak ketika kembali dari menuntut ilmu, dapat berguna bagi nusa dan bangsa Indonesia yang kelak merdeka. Namun ternyata janji itu dusta, mereka, yang masih sangat belia, hanya dijadikan budak nafsu para tentara Jepang.
Buku ini, didasari atas investigasi dari para pelaku langsung maupun tidak langsung, memberi beberapa kesimpulan atas latar belakang peristiwa kemanusiaan tersebut.
Aku datang tidak dengan pedang… hanya dengan membawa melati ditangan dan kecubung penyebar radang… Nikmatilah… puaskanlah… seperti bapakmu dulu menikmati tubuh ibuku… Aku datang sudah membalas… dari balik ruang kaca…”. Penggalan puisi berjudul “Pembalasan Si Endah untuk: Para Jugun Ianfu” karya Zeffri Alkatiri yang cukup syarat dengan aura ‘kepedihan’ yang diungkapkan dalam rangka memperingati hari perempuan sedunia pada tanggal 8 Maret 2013, lalu, berbarengan dengan diskusi buku dan pemutaran film, “NONA DJAWA: Di balik Rekrutmen Sistem Perbudakan Seksual Militer Jepang di Indonesia”.
Tema Nona Djawa, merupakan tulisan yang diangkat Jo Cowtree, seorang penulis dan seniman yang bermukim di New York City melalui pengalaman penelitian EkaHindra, seorang peneliti independen yang telah melakukan penelitian mengenai “Ianfu” sekitar 14 tahun (1999-sekarang) yang menyatakan bahwa sebagian besar perempuan-perempuan muda yang direkrut paksa sebagai “Ianfu” serta ditempatkan di ianjo-ianjo (rumah bordil yang dibangun oleh militer Jepang) yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia berasal dari pulau Jawa.
Lembar sejarah yang selama 70 tahun tersembunyi kini perlahan terkuak. Kisah sekelompok perempuan yang berkorban untuk kemerdekaan tak pernah terdengar. Secara eksklusif, Eka Hindra, peneliti Ianfu Indonesia , mengungkap sekaligus menyadarkan banyak kalangan, begitu kejamnya perbudakan seks (Ianfu) yang dilakukan militer Jepang di Indonesia sepanjang tahun 1942-1945.
Menurut informasi Eka, berdasarkan penelusuran arsip sementara di kota Solo, Jawa Tengah, terdapat 150 perempuan yang telah dijadikan Ianfu di dua Ianjo yang diberi nama Fuji Ryokan dan Chiyoda Ryokan , di daerah Gladak. Bahkan secara khusus, Eka sempat mewawancarai Ianfu dari Karang Pandan, bernama Kasinem pada 2008-2011. Dugaan sementara , salah satu dari 150 Ianfu dengan nama Jepang Yako.
Tentu saja ini baru sepenggal kisah tragis perempuan Indonesia yang telah direndahkan martabat dan harga dirinya akibat praktek perbudakan seksual tentara Jepang di Indonesia. Temuan Eka dari arsip di Solo bisa dinilai cukup kredibel mengingat reputasi dan rekam jejaknya yang begitu intensif sebagai peneliti maupun advokator Ianfu Indonesia sejak 1999.
Kisah Mardiyem dari Yogjakarta ,dan Suharti dari Blitar merupakan penemuannya yang telah membuka mata dunia. Eka juga sempat bertemu dengan saksi sejarah 67 tahun Silam bernama Sri Sukanti, survivor Ianfu dari Salatiga.
Sri Sukanti (81), wanita renta itu, tangannya gemetar, nafasnya sesak dan sesekali mengusap air mata ketika ia menceritakan pengalaman hidupnya. masih teringat jelas persis perlakuan kejam yang dialaminya saat masa pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Sukanti mengisahkan sejarah kelam hidupnya, ia terlahir sebagai anak ke-11 dari 12 bersaudara dari seorang Wedana bernama Soedirman dan Ibunya, Sutijah, yang berasal dari kalangan rakyat biasa. Kisahnya dimulai pada pertengahan tahun 1945.
“Di suatu siang sekitar pukul 11 datanglah dua orang Jepang berpakaian dinas tentara lengkap dengan samurai terselip dipinggangnya, ditemani Lurah desa Gundi bernama Djudi. Lurah ini menunjukkan kepada kedua tentara Jepang kalau Wedana Soedirman memiliki anak gadis cantik jelita”. Singkat cerita, Sukanti bersaksi bahwa tentara Jepang yang membawanya itu bernama Ogawa. Malam pertama di sana, saya dimandikan, keramasi, dibedaki dan disalini baju oleh Ogawa persis seperti boneka”, kenangnya terpukul
Para tentara Jepang membawa dirinya selama 4 hari dan ditempatkan di markas para serdaru Jepang, Gedung Papak, Purwodadi, Jawa Tengah. Dirinya selalu dipaksa melayani nafsu serdadu bernama Ogawa itu. Seakan-akan dirinya seperti mayat dan ingin segera mengakhiri hidupnya. Hingga saat ini, perlakuan tersebut mengakibatkan kerusakan pada janinnya dan dirinya divonis tidak dapat memiliki keturunan seumur hidup. “Saya tidak bohong dengan cerita saya, Jepang sangat kejam, semoga tidak ada lagi perempuan-perempuan seperti saya lagi,” harapnya
Sementara itu, Penelliti Jugun Ianfu, Eka Hindra mengungkapkan sebagian besar perempuan-perempuan muda direkrut secara paksa untuk di tempatkan di Ianjo-Ianjo (rumah bordil bangunan Jepang) yang tersebar di berbagai daerah pendudukan militer tentara Jepang. Kebanyakan mereka berasal dari perempuan-perempuan di pulau Jawa. “Melalui acara ini kami ingin meneruskan cerita sejarah kepada generasi muda, bahwa ini merupakan kisah nyata dan terjadi saat pendudukan tentara militer Jepang,” paparnya.
Tak Sekedar mengenang SejarahKini sejarah mencatat, militer Jepang menguasai wilayah Indonesia dalam waktu delapan hari pada 1 Maret 1942, setelah terjadi pertempuran sengit di perairan laut asia pasifik untuk membuat armada sekutu menyerah.
Ketika itu wilayah kepulauan Indonesia dijadikan sebagai wilayah sumber daya manusia oleh militer Jepang guna mendukung kemenangan perang Asia Pasifik.
Sejak itu pengerahan tenaga paksa pun dimulai. Dari kota dan desa, militer Jepang mengumpulkan laki-laki berusia antara 16-40 tahun, dan perempuan berusia 16-25 tahun. Tenaga laki-laki ini dijadikan Romusha (budak pekerja), sedangkan perempuan muda dipaksa dijadikan Ianfu (budak seks).
Militer Jepang jelas melakukan Human Trafficking, dengan diiming-iming pekerjaan. Untuk kasus Ianfu, militer Jepang membuat iklan sebagai daya tarik memikat para perempuan.Tidak itu saja, kerap kali juga terjadi pemaksaan dan aksi kekerasan fisik dan teror juga dilakukan militer Jepang.
Kesaksian Suharti, asal dari Blitar misalnya. Suharti ditipu oleh militer Jepang, melalui lurah yang datang menemui kedua orang tuanya. Lurah itu berkata, “Anak bapak mau didik dan disekolahkan di Balikpapan, setelah lulus nanti kerja di kantor-kantor,” katanya.
Kenyataannya, Suharti yang ketika itu berusia 15 tahun malah dijadikan Ianfu, dipaksa sebagai pemuas nafsu seksual belasan personil Jepang setiap harinya. Lain lagi kisah Mardiyem, ketika itu usianya 13 tahun. Mardiyem mendapat penyiksaan berupa pukulan dan tendangan dari Cikada, Manajer Lanjo (tempat perempuan penghibur). Peristiwa itu menyebabkan Mardiyem pingsan selama 6 jam. Ini karena gara-gara Mardiyem menolak meladeni nafsu biadab militer Jepang itu.
Perlakuan biadab yang dialami Mardiyem tidak berhenti disitu. Pada usia 15 tahun Mardiyem juga dipaksa melakukan aborsi, ketika usia kandungannya baru berusia lima bulan. Proses pengguguran kandunganya dilakukan tanpa pembiusan. Kandungan ditekan secara paksa sampai bayi keluar. Akibat penyiksaan fisik bertahun-tahun itu, Mardiyem mengalami cacat fisik serta trauma seksual pasca perang.
Pada tahun 2008, pada usia 78 tahun, Mardiyem menutup mata. Kisah tragis tidak hanya dialami Suharti dan Mardiyem saja. Banyangkan selama 1942-1945, militer Jepang mendirikan rumah perbudakan seks atau Ianjo di seantero wilayah Indonesia. Mulai dari Aceh hingga Papua. Dapat dipastikan dimana ada militer Jepang pasti terdapat Ianjo.
Beberapa tahun sebelum pertikaian dimulai di Eropa, konflik perang di Asia sudah mulai menggoreskan peristiwa. Tepatnya setelah Jepang menginvasi Cina tahun 1931 jauh sebelum Perang Dunia II di Eropa. Pada 1 Maret 1931 Jepang menunjuk Henri Pu Yi menjadi raja di Manchukuo, negara boneka di Mancuria.
Enam tahun kemudian perang pun tak terbendung sesaat setelah Jepang mengambil Cina secara paksa. Di masa-masa kelam inilah ratusan ribu perempuan di Asia diperkosa oleh militer Jepang. Seusai militer Jepang menginvasi Shanghai pada 1936, mereka melaju menuju Nanking atau Nanjing, ibukota provinsi Jiangsu di Republik Rakyat Cina. Di sana, sebanyak 153.000 personel militer Jepang tidak saja menghabisi nyawa-nyawa orang Cina dengan sadis dalam upaya penaklukan, tetapi juga melakukan pemerkosaan secara brutal. Dalam waktu enam minggu, sejarah mencatat lebih dari 20.000 perempuan Cina dari segala usia diperkosa.
Dalam tulisan Iris Chang yang menghebohkan pada 1997, The Rape of Nanking: The Forgotten Holocaust of World War II mengisahkan secara rinci tentang perempuan-perempuan Cina yang diperkosa disetiap lokasi-setiap waktu. Perempuan yang mampu bertahan hidup mengingat jelas wajah-wajah pemerkosanya: memperkosa mereka di siang hari, di tengah-tengah jalan, di depan kerumunan saksi.
Tidak ada tempat bersembunyi untuk melakukan pemerkosaan. Serdadu-serdadu Jepang menyerang perempuan di biara, gereja dan sekolah-sekolah pelatihan Injil. Tercatat bagaimana tujuh belas tentara Jepang memperkosa seorang perempuan disebuah halaman seminari. “Setiap hari, dua puluh empat jam.” Akibatnya penyakit menular seksual menyerang dan menjangkiti para tentara Jepang. Hal ini kemudian melemahkan kekuatan militer Jepang dalam usaha menaklukan daratan Cina.
Kemudian seorang dokter bernama Aso Tetsuo diutus oleh Markas Besar Militer Jepang di Tokyo untuk menyelidiki penyebab menurunnya kondisi pasukan Jepang. Tetsuo mengungkapkam hasil penemuannya dalam buku yang berjudul Karyubyo no Sekkyokuteki Yaboho (Positive Precautionary Measure of Sexual Disease) pada 1939 dalam artikel Shanghai he (From Shanghai to Shanghai).
Ia merekomendasikan kepada militer Jepang bahwa mereka harus menyediakan “perempuan yang bersih” untuk ditempatkan di lokasi khusus sebagai pemuas kebutuhan seksual tentara Jepang -dikenal dengan istilah “Ianjo” (bordil militer Jepang). Perempuan-perempuan yang direkrut oleh militer Jepang inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan “Ianfu”.
Menguak Jugun IanfuKonflik perang mulai di Asia beberapa tahun sebelum pertikaian dimulai di Eropa, setelah Jepang menginvasi Cina tahun 1931 jauh sebelum Perang Dunia II mulai di Eropa tanggal 1 September 1939-14 Agustus 1945. Tanggal 1 Maret 1931 Jepang menunjuk Henry Pu Yi menjadi raja di Manchukuo, Negara boneka di Manchuria.
Pada tahun 1937 perang telah dimulai saat Jepang mengambil paksa Cina. Tahun 1936 militer Jepang yang telah menduduki kota Shanghai mulai melaju menuju kota Nanjing yang berjarak sekitar 360 km dari Shanghai. Balatentara Jepang yang berada disana seluruhnya berjumlah sekitar 135.000 personil militer.
Oleh karena terus menerus melakukan peperangan prajurit Jepang mulai kehabisan persediaan makanan. Menyadari situasi ini markas besar militer Jepang membuat strategi baru dengan cara mencari makanan dari musuh. Ini artinya prajurit Jepang harus mulai menjarahi rumah-rumah penduduk untuk memperoleh makanan sebagai upaya bertahan hidup.
Tindakan militer Jepang ini sahabat anehdidunia.blogspot.com, memicu kemarahan rakyat Cina, dalam keadaan terjepit rakyat Cina mulai melawan dengan memakai cara apa saja. Tindakan orang Cina ini tentu saja menimbulkan masalah baru bagi militer Jepang yang sedang melakukan upaya kolonialisasi. Akibatnya militer Jepang mengeluarkan perintah, “Bunuh orang Cina yang terlihat di depanmu!”
Saat ini masih banyak orang berfikir bahwa dalam situasi perang segalanya dapat terjadi secara mendadak tanpa terencana. Termasuk peristiwa pahit yang menimpa ratusa ribu perempuan Asia dan Belada dalam praktek sistem perbudakan seksual dengan nama Jugun Ianfu. Benarkan praktek Jugun Ianfu sebuah peristiwa yang tidak terencana dalam situasi perang Asia Pasifik? Benarkan Jugun Ianfu sebuah profesi prostitusi yang menerima upah atas jasa layanan seksual kepada militer Jepang.
Praktek dari perintah ini prajurit Jepang mulai membunuhi orang-orang Cina tanpa membedakan kelompok dari sipil atau militer. Pembunuhan keji yang dilakukan tanpa strategi mengakibatkan banyak prajurit Jepang rusak mentalnya dan menjadi gila. Para prajurit Jepang itu bukan hanya melakukan pembunuhan masal, mereka juga mulai melakukan perkosaan secara brutal semua perempuan Cina yang terlihat di jalan-jalan
Akibatnya sebagian besar personel militer Jepang mengalami penyakit kelamin akibat melakukan perkosaan brutal terhadap perempuan-perempuan Cina. Hal ini mengakibatkan kekuatan militer Jepang di Cina melemah. Situasi ini membuat khawatir para petinggi militer di Tokyo. Sehingga mengirim seorang dokter yang bernama Aso Tetsuo untuk menyelidiki penyebab melemahnya kekuatan militer di Cina.
Tak lama setelah penyelidikan berlangsung Aso Tetsuo mengeluarkan rekomendasi untuk markas militer Jepang segera membangun fasilitas prostitusi khusus personel militer yang dikontrol langsung pihak militer. Peristiwa bersejarah ini tertuang dalam buku yang berjudul Karyubyo no Sekkyokuteki Yobaho (Positive Precautinary Measure of Sexual Disease) tahun 1939. Aso Tetsuo mengungkapkan peristiwa tersebut dalam tulisannya yang berjudul Shanghai kara Shanghai he (Shanghai to Shanghai).
Pembentukan Ianjo (rumah bordil militer Jepang) yang menyediakan jasa pelayanan seksual bagi tentara dan sipil Jepang dimulai sejak tahun 1932, setelah terjadi kekejaman luar biasa militer Jepang terhadap rakyat Cina di Shanghai. Hampir 1 dekade sebelum penggunaan istilah Jugun Ianfu meluas dan menjadi gejala umum di semua daerah yang dikuasai Jepang di Asia Pasifik menjelang berakhirnya Perang Dunia ke II.
Penguasa Jepang terpaksa harus mempertimbangkan kedisiplinan dan moral militer. Rencana pusat hiburan yang pertama kali diperkenalkan tahun 1932 dibawah pengawasan militer Jepang. Hal ini sahabat anehdidunia.blogspot.com dapat dibuktikan dengan adanya tulisan tangan salah satu komandan kampanye Shanghai Letnan Jenderal Okamura Yasuji, yang mengakui dalam buku hariannya bahwa ia menjadi pembuat usulan pertama kali Ianjo untuk militer
Jugun Ianfu (Budak Seks) pertama adalah orang Korea dari pulau Kyushu Utara di Jepang atas permintaan salah seorang penguasa militer yang dikirimkan oleh Gubernur Prefektur Nagasaki. Dasar pemikiran dibalik pembentukan sistem formal Ianjo adalah pengembangan palayanan seksual. Oleh karena itu perlu diawasi dan dikontrol untuk mengurangi jumlah terjadinya pemerkosaan yang dilaporkan dari tempat-tempat yang menjadi basis militer Jepang.
Dalam proses perekrutan tersebut tidak hanya melibatkan militer tetapi juga Departemen Dalam Negeri yang membawahi para Gubernur dan polisi yang kemudian memainkan peranan dalam kerjasama dengan pihak militer untuk merekrut. Cabang khusus Shanghai menggunakan penghubung-penghubung di kalangan pedagang .
Untuk memperoleh perempuan sebanyak-banyaknya untuk melayani kebutuhan seksual miter pada akhir 1937 para perempuan yang dipaksa bekerja di Ianjo-Ianjo yang terletak diantara wilayah Shanghai dan Nanking dikelola langsung oleh militer Jepang. Ianjo ini menjadi model bagi Ianjo-Ianjo selanjutnya. Oleh karena pembangunan Ianjo terus mengalami perkembangan pengelolanya tidak selalu menjadi tanggung jawab militer. Sebagian pengelola adalah orang-orang sipil yang diberi pangkat paramiliter. Namun demikian pihak militer tetap bertanggung jawab terhadap transportasi dan pengawasan umum Ianjo-Ianjo tersebut termasuk aspek kesehatan.
Sementara perang terus berlangsung dan jumlah tentara Jepang yang berpangkalan di berbagai daerah Asia Pasifik terus mengalami peningkatan. Oleh sebab itu permintaan Jugun Ianfu untuk militer juga meningkat. Sehingga cara-cara baru untuk mempekerjakan perempuan-perempuan diciptakan. Hal ini menyangkut peningkatan penggunaan cara-cara penipuan dan kekerasan di banyak tempat di kawasan Asia Timur (khususnya Korea yang telah dikolonisasi Jepang tahun 1910).
3 Jenis rekruitmen dapat diidentifikasikan, antara lain para perempuan yang menyediakan diri mereka secara sukarela (pekerja seks komersial), Tipu daya kepada para perempuan dengan tawaran pekerjaan dengan upah tinggi di restoran sebagai tukang masak/tukang cuci dan penculikan disertai tindak kekerasan perempuan secara kejam di sejumlah negara di Asia Pasifik dibawah kekuasaan Jepang.
Dengan diperkuatnya Undang-undang Mobilisasi Umum Nasional oleh pemerintah Jepang yang dikeluarkan tahun 1932, namun belum sepenuhnya dilaksanakan sampai dengan tahun-tahun mendekati berakhirnya perang. Dengan mendesaknya kebutuhan perang atas sumber daya manusia baik perempuan dan laki-laki dipanggil untuk menyumbangkan tenaga bagi usaha perang. Sehubungan dengan hal ini Korps Pelayanan Sosial Perempuan didirikan sebagai dalih mengumpulkan perempuan untuk bekerja di pabrik atau melakukan tugas-tugas yang berkaitan dengan perang untuk membantu militer Jepang.
Lokasi Ianjo tampaknya mengikuti arah perang berlangsung. Ianjo-Ianjo dapat ditemukan dimanapun tentara Jepang berada. Ianjo-Ianjo dikenal juga melalui berbagai sumber di Cina, Taiwan, Indonesia, Filipina, Kepulauan Pasifik, Singapura, Malaysia, Myanmar dan Indonesia. Militer Jepang dengan cermat secara detil sistem prostitusi.
Peraturan dalam pengoperasian Ianjo di berbagai wilayah taklukan militer Jepang di Asia Pasifik memiliki kesamaan sistem seperti harga yang ditetapkan untuk masuk ke Ianjo, pembelian tiket masuk ke Ianjo, jam berkunjung, kontrol kesehatan yang ketat terhadap para Jugun Ianfu agar terhindar penyakit menular seksual, pemberian kondom kepada setiap pengunjung yang masuk ke Ianjo, larangan menggunakan senjata dan penggunakaan alkohol di lingkungan Ianjo.
Jepang harus mengakuiBerdasarkan berbagai studi sejarawan mengenai praktek perbudakan seksual atau Ianfu di beberapa negara eks jajahan Jepang di Asia, ada sekitar 200 ribu perempuan muda yang dipaksa menjadi pekerja seks atau yang kemudian dikenal sebagai Jugun Ianfu. Para perempuan muda ini berasal dari Indonesia, Cina, Taiwan, Filipina dan Korea.
Merujuk pada sebuah berita dari AFP, pada 1993, sebenarnya pemerintah Jepang, melalui jurubicaranya waktu itu, Yohei Kono, telah meminta maaf kepada para korban (Survivors) Jugun Ianfu dan mengakui keterlibatan Jepang sehingga menyebabkan penderitaan lahir dan batin terhadap para korban Ianfu tersebut (In a landmark 1993 statement, then chief Japanese government spokesman Yohei Kono apologized to former comfort women and acknowledged Japan’s involvement in causing their suffering).
Namun anehnya pada 2007, Perdana Menteri Shinzo Abe justru menyangkal keterlibatan Jepang dalam mendukung dan mendorong praktek perbudakan seksual tentara Jepang tersebut, dan bahkan mengatakan tak ada satu bukti pun yang menunjukkan bahwa Jepang secara langsung mendukung adanya perbukan seksual tentara Jepang.
Perdana Menteri Shinzo Abe boleh saja membantah keterlibatan pemerintah Jepang dalam mendukung praktek perbudakan seksual Jepang pada masa sebelum dan saat berlangsungnya Perang Dunia II. Namun dari berbagai sumber pustaka terkait penelitian seputar Jugun Ianfu, setidaknya diperkirakan 100 ribu sampai 400 ribu perempuan muda dipaksa untuk melayani “hasrat seksual” tentara Jepang sebelum dan saat berlangsungnya Perang Dunia II. Khususnya di negara-negara jajahan Jepang di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia.
Kisah tabir kelam sejarah hitam tak mungkin terlupakan dalam goresan ingan bangsa-bangsa Asia yang jadi korban kebiadaban militer jepang. Meskipun secara politik, kejahatan perang Asia Pasifik dianggap selesai oleh pemerintah Indonesia dan Jepang, sejak perjanjian bilateral pampasan perang pada 20 Januari 1958 ditandatangani.
Namun kasus Ianfu kembali muncul kepermukaan setelah Tuminah asal Solo bersaksi. Melalui pembentukan lembaga Filantropi, Asia women’s Fund (AWF) ditahun 1995, pemerintah Jepang pun berusaha meredam kasus Ianfu di Indonesia. AWF sebagai boneka politik pemerintah Jepang pada tahun 1997 memberikan dana sebesar 380 juta yen kepada Pemerintah Indonesia, yang diterima Kementerian Sosial. Dana itu dibayarkan secara diangsur selama 10 tahun. Tahap pertama dana sebesar 2 juta yen, atau sekitar 775 juta rupiah diserahkan kepada pemerintah Indonesia. Dan konon, “suntikan” dana pertama ini akan dipakai untuk membangun Panti Wredha di lima propinsi di Indonesia.
Persoalannya adalah, cukupkah hanya sekedar sejumlah dana, sejarah kelam ini dilupakan begitu saja? Tentu saja tidak. “Kita memiliki kewajiban untuk ikut memulihkan martabat kemanusiaan mereka. Merekalah perempuan yang sosoknya tak terlihat dalam lembar sejarah,” kutip Eka. Alangkah eloknya, pemerintah Jepang menyatakan permintaan maaf secara resmi kepada setiap penyitas (survivor) Ianfu dan bangsa Indonesia akibat perbuatan keji militer mereka dulu. Dan terpenting pemerintah Jepang harus memperhatikan para korban-korban perbudakan seks di Indonesia ini.
(berbagai sumber)